Diduga Dianiaya WNA, Korban dan LSM Desak Polres Probolinggo Akhiri ‘Delay’ dan Tetapkan Tersangka Kasus Suarni

Diduga Dianiaya WNA, Korban dan LSM Desak Polres Probolinggo Akhiri ‘Delay’ dan Tetapkan Tersangka Kasus Suarni

Probolinggo — Penanganan laporan dugaan penganiayaan yang melibatkan seorang Warga Negara Asing (WNA) berinisial Mr. C, pemilik Villa88 di Desa Sapikerep, Sukapura, memasuki babak yang semakin memunculkan tanda tanya besar. Hampir sembilan bulan sejak laporan dilayangkan oleh korban Suarni, tak satu pun tersangka ditetapkan. Pertanyaan publik pun menguat: Mengapa kasus yang sarat bukti ini tidak kunjung naik? Siapa yang dilindungi?

Kasus ini sejatinya bukan kasus tanpa arah. Justru sebaliknya, laporan disertai sederet barang bukti keras yang seharusnya membuat penyidik tidak perlu menunda proses penetapan tersangka. Foto lebam di wajah dan tubuh korban, hasil visum dari pihak medis, baju korban berlumuran darah, serta benda-benda yang diduga digunakan untuk memukul—asbak keramik dan vas bunga keramik—telah berada di tangan penyidik sejak awal.

Saksi-saksi pun sudah memberikan keterangan sejak bulan pertama, di antaranya Yeyen, serta istri ketua BPD setempat Sri M dan anaknya Yoga, yang mengetahui kondisi korban segera setelah kejadian. Namun, meski bukti visual, medis, dan saksi telah terkumpul, kasus justru berjalan seperti merangkak.

Konfrontir Ulang yang Dipertanyakan: Tahapan Hukum atau “Delay Strategis”?

Senin (24/11/2025), Polres Probolinggo kembali memanggil korban, saksi Yeyen, dan kuasa hukum M. Ilyas, S.H. untuk menjalani konfrontir ulang dengan terlapor Mr. C. Proses itu turut dikawal oleh sejumlah LSM dari Aliansi Aktivis Probolinggo serta jurnalis media online.

Namun, alih-alih memberikan titik terang, konfrontir tersebut justru memperkuat kecurigaan publik bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Mr. C kembali menyangkal telah melakukan penganiayaan, dan penyidik tampak memberi ruang besar bagi bantahan tersebut—padahal hukum tak pernah mensyaratkan “pengakuan” sebagai penentu tunggal penetapan tersangka.

“Ini sudah bukan konfrontir sekali dua kali, tapi berkali-kali. Sampai kapan proses ini mau dibolak-balik?” tegas Sholehudin aktivis yang mendampingi.

Pakar hukum pidana, jika melihat pola ini, bisa menyebutnya sebagai “delay strategis”—pengulangan proses bukan untuk menemukan kebenaran, melainkan untuk memperlambat momentum pembuktian.

Kuasa Hukum: “Bukti Permulaan Sudah Lebih dari Cukup. Kenapa Tersangka Tidak Ditentukan?”

Kuasa hukum korban, M. Ilyas, S.H., mengungkapkan kegusarannya atas berlarutnya kasus ini.

“Bukti permulaan sudah memenuhi syarat. KUHAP tidak pernah mengajarkan bahwa penyidik harus menunggu pengakuan. Kalau bukti ada, saksi ada, visum ada, baju berdarah ada, alat yang digunakan ada—apa lagi yang ditunggu? Kami menduga ada ketidaknormalan dalam penanganan,” tegasnya.

Ilyas menegaskan, KUHAP Pasal 1 angka 14 menyebut bahwa seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka apabila ada minimal dua alat bukti yang sah. Dalam kasus Suarni, alat bukti yang ada bukan hanya dua—melainkan lima:

  • Visum
  • Foto luka
  • Benda keramik sebagai benda pemukul
  • Keterangan saksi
  • Petunjuk dari kondisi pascakejadian

Namun, Polres Probolinggo belum juga bergerak ke tahap penetapan tersangka.

LSM Soroti Dugaan Perlakuan Istimewa Terhadap WNA

Beberapa aktivis yang hadir mengaku melihat pola penanganan yang janggal, terutama karena terlapor adalah WNA yang memiliki usaha pariwisata bernilai besar di wilayah itu.

“Ini bukan tuduhan, tapi fakta lapangan menunjukkan ada sikap over hati-hati setiap kali pelaku adalah WNA atau orang berkepentingan ekonomi besar. Padahal UUD 1945 Pasal 27 jelas: semua orang sama di mata hukum,” ujar Kang Suli Koordinator Aliansi Aktivis Probolinggo.

Mereka khawatir Polres Probolinggo terjebak pada fenomena “legal hesitation” terhadap pelaku asing—seperti kasus-kasus sebelumnya di beberapa daerah di Indonesia di mana pelaku WNA cenderung mendapatkan ruang lebih longgar dibanding warga lokal.

Pertanyaan Publik yang Belum Terjawab

Investigasi lapangan mengungkap sejumlah pertanyaan yang hingga kini belum mendapatkan jawaban tegas dari penyidik Polres Probolinggo:

  1. Mengapa kasus dengan bukti fisik lengkap memerlukan konfrontir ulang setelah 9 bulan?
  2. Mengapa pengakuan terlapor tampak lebih dipertimbangkan dibanding visum dan saksi?
  3. Adakah kendala internal atau tekanan eksternal yang membuat penanganan kasus melambat?
  4. Apakah status WNA terlapor membuat penyidik lebih berhati-hati?
  5. Mengapa SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) terkesan normatif tanpa progres signifikan?

Hingga kini, belum ada jawaban pasti dari Polres Probolinggo.

Landasan Hukum yang Seharusnya Menggerakkan Polres untuk Segera Menetapkan Tersangka

1. Pasal 351 KUHP (Penganiayaan)

Barang bukti yang digunakan—keramik, vas bunga—termasuk alat yang dapat melukai.

2. KUHAP Pasal 184

Alat bukti sah meliputi:

  • Keterangan saksi
  • Keterangan ahli (visum)
  • Petunjuk
  • Barang bukti
    (Pengakuan bukan syarat penentu!)

3. KUHAP Pasal 1 angka 14

Penetapan tersangka cukup dengan bukti permulaan yang cukup, bukan bukti sempurna.

4. Perkap 6/2019 tentang Manajemen Penyidikan

Penyidik wajib cepat, tepat, dan tidak diskriminatif.

5. Asas Equality Before The Law

Tidak boleh ada pembedaan antara WNA dan WNI.

Publik Mendesak Ketegasan Kapolres Probolinggo

Kuasa hukum dan aliansi aktivis mendesak Kapolres Probolinggo untuk:

  1. Segera menetapkan Mr. C sebagai tersangka, karena bukti permulaan sudah lebih dari cukup.
  2. Menghentikan konfrontir berulang yang tidak memiliki dasar urgensi.
  3. Melakukan gelar perkara terbuka untuk menunjukkan transparansi.
  4. Memberikan kepastian hukum kepada korban, bukan membiarkan trauma korban berlarut.

“Jika kasus ini terus berlarut, masyarakat bisa menilai ada kegagalan penegakan hukum. Dan itu preseden buruk,” tegas para aktivis. (Tim/Red/**)

Sumber: Praktisi hukum,Aliansi Aktifis Probolinggo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *