Kasus Asusila di Pesantren: PMII Apresiasi Ketegasan Kapolres Probolinggo Tetapkan Tersangka

Kasus Asusila di Pesantren: PMII Apresiasi Ketegasan Kapolres Probolinggo Tetapkan Tersangka

Probolinggo – Penetapan tersangka dalam kasus dugaan asusila di salah satu pesantren di Kabupaten Probolinggo mendapat sambutan positif dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Meski demikian, organisasi kader penggerak ini menegaskan bahwa langkah tersebut baru tahap awal, dan kepolisian harus memastikan proses hukum berjalan transparan hingga tuntas tanpa kompromi terhadap siapapun yang terlibat.

Ketua PMII Probolinggo menyampaikan bahwa apresiasi yang mereka berikan tidak berarti menutup mata terhadap potensi kelalaian, penyimpangan, atau kurangnya pengawasan yang memungkinkan dugaan tindakan asusila terjadi di lingkungan pendidikan agama. Ia menekankan pentingnya akuntabilitas, baik dari pihak pesantren maupun aparat, agar kasus tidak berhenti pada satu nama saja.

“Penetapan tersangka memang langkah penting, tetapi bukan akhir. Kami ingin Polres Probolinggo membuka proses ini seluas-luasnya kepada publik dan memastikan bahwa tidak ada upaya melindungi pelaku lain, jika memang ada,” tegasnya.

Menurut PMII, kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren seringkali tenggelam oleh tekanan sosial, ketakutan korban, serta adanya upaya sebagian pihak untuk menjaga citra lembaga. Karena itu, PMII menilai penanganan polisi harus lebih progresif, pro-korban, dan sensitif terhadap dinamika kekuasaan antara pengasuh, pengurus, dan santri.

PMII juga mendesak pemerintah daerah, Kementerian Agama, serta pengawas pesantren untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem perlindungan santri. Minimnya mekanisme pengaduan, lemahnya pengawasan internal, serta kurangnya edukasi terkait kekerasan seksual menjadi faktor risiko yang tidak boleh terus dibiarkan.

“Lingkungan pesantren adalah ruang pendidikan moral. Ketika terjadi dugaan tindakan amoral di dalamnya, berarti ada celah besar dalam pengawasan dan tata kelola. Negara tidak boleh hanya hadir ketika kasus sudah mencuat, tetapi harus hadir dalam pencegahan,” tegas PMII.

Meski mengapresiasi langkah Kapolres Probolinggo yang dinilai objektif dan tidak terpengaruh tekanan pihak manapun, PMII menyatakan akan terus mengawal proses hukum secara kritis. Mereka mengingatkan bahwa dalam kasus kekerasan seksual, keadilan tidak hanya diukur dari penetapan tersangka, tetapi juga dari kejelasan perlindungan korban, pendampingan psikologis, serta keberanian aparat menindak siapapun yang berperan menutupi fakta.

PMII menekankan perlunya standar keselamatan santri yang lebih ketat di seluruh pesantren, termasuk pembentukan unit pencegahan kekerasan, mekanisme pelaporan cepat, serta edukasi anti-kekerasan yang wajib bagi ustaz, pengasuh, dan para santri.

“Kami menuntut agar proses hukum tidak berhenti di tengah jalan dan tidak berhenti pada satu orang. Kebenaran harus diungkap secara menyeluruh,” tutupnya.

(Edi D/Bambang/Red/**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *