Meski penjelasan resmi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyatakan keaslian ijazah Presiden Joko Widodo, isu mengenai dugaan ijazah palsu terus bergulir. Bahkan setelah Bambang Tri dan Nur Sugik dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan menyebarkan fitnah, sebagian publik masih mempertanyakan keaslian dokumen akademik milik mantan Presiden tersebut.
Namun ironisnya, sorotan tajam terhadap ijazah Jokowi justru dipicu oleh pernyataan Jokowi sendiri dalam sebuah acara di kampus UGM. Dalam kesempatan tersebut, ia dengan yakin menyebut bahwa skripsinya dibimbing oleh dosen bernama Pak Kasmojo. Ucapan ini menjadi awal dari investigasi publik yang kemudian menimbulkan berbagai pertanyaan serius.
Pasalnya, berdasarkan penelusuran publik, usia Pak Kasmojo dan Jokowi disebut tidak terpaut jauh, sehingga menimbulkan keraguan apakah beliau benar-benar dosen pembimbing. Penelusuran terhadap skripsi Jokowi menghasilkan temuan baru: lembar pengesahan skripsi tertulis nama pembimbing adalah Pak Soemitro, bukan Kasmojo.
Kebingungan semakin menjadi-jadi saat keluarga dari dosen tersebut mengoreksi nama yang benar adalah “Sumitro”, bukan “Soemitro”, bahkan menyoroti tanda tangan yang dianggap tidak identik. Netizen pun mulai membanjiri dunia maya dengan diskusi dan analisis, termasuk membandingkan foto-foto ijazah yang beredar dengan teknologi digital untuk memverifikasi keasliannya.
Temuan yang dianggap janggal mencakup jenis font yang disebut baru muncul setelah tahun penerbitan ijazah, logo dan cap yang tak lazim, serta kesalahan dalam penulisan dan nomor dokumen. Semua ini menambah keyakinan sejumlah pihak bahwa ijazah tersebut layak untuk ditinjau kembali secara hukum dan akademik.
Tambahan keraguan datang dari pernyataan yang saling bertolak belakang antara pihak UGM dan pengacara Jokowi. Satu pihak menyebut ijazah asli hilang, sementara lainnya mengklaim akan menunjukkan bukti di pengadilan. Bagi publik, inkonsistensi ini menjadi bahan bakar baru bagi kecurigaan akan validitas ijazah tersebut.
“Publik seolah dibimbing langsung oleh Jokowi untuk mengungkap kebenaran ini,” kata salah satu pengamat yang aktif menyuarakan pembuktian melalui jalur hukum. Ia menambahkan bahwa satu-satunya jalan untuk membuktikan keabsahan ijazah adalah melalui analisis forensik oleh ahli independen, bukan tekanan kekuasaan atau penggunaan aparat dan pendengung digital untuk meredam suara kritis.
Nama Roy Suryo, mantan Menteri dan ahli forensik digital, kembali disebut sebagai sosok yang dianggap kapabel melakukan verifikasi secara objektif. “Negara ini negara hukum, bukan negara kekuasaan. Rakyat punya hak untuk tahu kebenarannya,” tegas seorang aktivis.
Para pengkritik menekankan bahwa Jokowi bukan hanya warga negara biasa. Ia pernah menjadi Walikota, Gubernur, dan Presiden. Maka, jika benar ada pemalsuan ijazah, menurut mereka, implikasi hukumnya harus ditindaklanjuti. “Orang biasa saja bisa dipenjara karena ijazah palsu. Bagaimana mungkin mantan Presiden bisa dibiarkan jika terbukti melakukan hal yang sama?” kata seorang pengacara publik.
Lebih jauh, mereka menuntut agar seluruh hak, fasilitas, dan bahkan gaji yang diperoleh dari jabatan publik selama ini harus dikembalikan kepada negara, jika tuduhan ini terbukti benar. Bahkan ada yang mengusulkan bahwa utang negara yang terjadi selama masa pemerintahannya tidak layak ditanggung rakyat.
Kini, masyarakat menanti: akankah penegak hukum berani membuka semua fakta dan menyampaikan transparansi kepada publik, ataukah isu ini akan kembali ditelan waktu tanpa penyelesaian?