Sukapura, Probolinggo – Meningkatnya angka kecelakaan sepeda motor matic yang terjadi di kawasan wisata Gunung Bromo memicu berbagai upaya keselamatan dari pemerintah desa, aparat kecamatan, hingga masyarakat setempat. Meski belum ada aturan tegas dari pemerintah daerah, himbauan keras terhadap pengendara motor matic terus digalakkan agar wisata Bromo tetap aman dan nyaman.
Camat Sukapura, ketika dikonfirmasi melalui sambungan WhatsApp, menjelaskan bahwa saat ini belum ada petugas dari dinas terkait yang bertugas penuh di pos penyekatan kawasan Bromo. “Yang ada saat ini hanya himbauan yang dipasang di beberapa titik strategis, sementara petugas dari dinas terkait hanya melakukan pemantauan dan memberikan himbauan saja,” ujar Camat Sukapura, Minggu (8/6/2025).
Ia menambahkan, untuk pelaksanaan ritual Yadnya Kasada pada tanggal 11-12 Juni 2025, seluruh dinas terkait akan diterjunkan untuk mengawal jalannya kegiatan di pos-pos penyekatan. Namun saat ini, petugas yang ada masih bersifat terbatas dan hanya melakukan tugas dasar.
Media ini juga menghubungi Dinas Perhubungan melalui WhatsApp, yang menjelaskan bahwa papan himbauan di kawasan Bromo adalah inisiatif dari Jasa Raharja. “Kami hanya memasang sepuluh papan himbauan di titik-titik tertentu terkait kecelakaan lalu lintas yang melibatkan motor matic. Kami tidak memiliki dasar hukum untuk melarang motor matic masuk ke Bromo, sehingga kami hanya bisa memberikan himbauan,” ungkap perwakilan Dinas Perhubungan.
Sementara itu, Kepala Desa Ngadisari, Sunaryono, menunjukkan komitmen kuat bersama masyarakat Tengger dalam menjaga keselamatan pengunjung Bromo. “Sudah sering terjadi kecelakaan rem blong motor matic di jalur curam. Kami merasa berkewajiban melindungi tamu yang datang ke Bromo,” tegas Sunaryono.
Desa Ngadisari bersama pemuda, karang taruna, pramuka, dan pelopor keselamatan desa membentuk gerakan kolaboratif yang aktif memberikan edukasi dan himbauan. Pos penyekatan di sekitar Pendopo Desa Ngadisari menjadi pusat kegiatan himbauan tersebut. Pengunjung yang datang dari arah Probolinggo dihentikan untuk diberikan edukasi dan diminta menandatangani surat pernyataan jika tetap memaksa menggunakan motor matic.
“Kami sudah berupaya maksimal, namun tanpa dukungan aturan resmi dan petugas yang memadai dari pemerintah kabupaten, kami kewalahan menghadapi pengendara yang memaksa,” lanjut Sunaryono.
Sebagai alternatif, warga menyediakan jasa transportasi yang lebih aman seperti mobil Jeep dan sepeda kayuh dengan harga terjangkau. Tarif Jeep bervariasi mulai dari Rp 100 ribu untuk ke Seruni Point hingga Rp 300 ribu untuk menuju kawah Bromo.
“Ini bukan soal bisnis, tapi demi keselamatan bersama. Kami juga terbuka untuk ide-ide baru demi kebaikan bersama,” tambahnya.
Meski demikian, wisatawan dari jalur lain seperti Pasuruan dan Malang sering lolos dari penyekatan, sehingga masyarakat terus melakukan pendekatan persuasif. Sunaryono juga berharap pemerintah daerah segera mengeluarkan kebijakan tegas terkait larangan motor matic di kawasan Bromo.
“Di tingkat desa kami sudah bergerak maksimal, tapi langkah lebih besar harus didukung pemerintah kabupaten dan instansi terkait,” tegasnya.
Saat ini, kawasan Bromo mulai dipadati pengunjung yang hendak melakukan ritual keagamaan, sehingga edukasi dan pengawasan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kesan diskriminasi.
“Surat pernyataan ini dibuat agar pengunjung sadar akan risiko yang mereka ambil. Semua demi keselamatan bersama,” pungkas Sunaryono.
Langkah nyata dan kesadaran kolektif masyarakat Ngadisari ini menjadi contoh pengelolaan wisata berbasis masyarakat. Meski dengan keterbatasan aturan dan fasilitas, mereka tetap aktif menjaga keselamatan dan reputasi Gunung Bromo sebagai destinasi wisata unggulan nasional. (Tim Media/**)