Opini  

NEGARA TIDAK BOLEH TUNDUK PADA RETORIKA MUSIMAN REFORMASI POLRI

NEGARA TIDAK BOLEH TUNDUK PADA RETORIKA MUSIMAN REFORMASI POLRI

Setiap kali terjadi kejadian yang melibatkan aparat, kata “reformasi Polri” selalu dihidupkan kembali bagaikan mantra politik yang terus memberikan jaminan. Padahal, bangsa ini sudah menuntaskan babak itu lewat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.

Mengulanginya lagi sama saja dengan menafikan sejarah, meragukan komitmen negara, dan menodai kewibawaan hukum. Polri bukanlah bangunan rapuh yang bisa dibongkar pasang sesuka hati oleh tekanan opini.

Polri adalah lembaga negara yang menjaga keamanan, ketenangan, dan stabilitas rakyat. Membiarkan jargon reformasi yang terus digoreng hanya akan menjadikan negara terlihat lemah, mudah digoyang oleh desakan emosional, dan tak punya pijakan tegas dalam menata masa depan.

Narasi reformasi Polri bukanlah solusi, melainkan ilusi. Ia memikat publik dalam siklus keraguan, seolah-olah negara tak becus membenahi dirinya. Padahal, yang dibutuhkan bukan lagi jargon, melainkan keberanian untuk menegakkan aturan yang sudah ada, ketegasan menindak pelanggar tanpa pandang bulu, serta konsistensi memperkuat profesionalisme.

Menyeret-nyeret isu reformasi sama dengan meruntuhkan fondasi yang telah dibangun dengan susah payah selama lebih dari dua dekade. Setiap kali wacana tersebut digulirkan, yang sesungguhnya terjadi adalah pelemahan wibawa Polri, dan pada akhirnya, pelemahan wibawa negara.

Bangsa yang besar tidak bisa hidup dengan keraguan permanen. Negara yang kuat tidak mungkin terus mengulangi reformasi hanya karena segelintir pihak ingin memancing di air keruh. Yang harus dilawan bukan kritik yang sehat, melainkan jebakan narasi yang hendak menggiring kita pada ketidakpercayaan.

Membiarkan wacana reformasi Polri berulang kali adalah membiarkan martabat negara digadaikan. Inilah saatnya dikatakan dengan tegas: reformasi Polri sudah selesai. Yang tersisa sekarang adalah tugas bersama untuk menjaganya, memperkuatnya, dan membebaskannya dari kekuasaan politik yang ingin melemahkan negara.

Menyeret kembali wacana reformasi Polri dan bahkan menempatkannya di bawah kementerian bukan hanya langkah mundur, tetapi juga sebuah pengingkaran terhadap sejarah reformasi itu sendiri.

Polri yang dipisahkan dari TNI dan berdiri langsung di bawah Presiden adalah hasil konteks nasional untuk membangun kepolisian yang independen, profesional, dan berwibawa.

Mengubah posisi strategis ini dengan menempatkannya di bawah kementerian berarti meruntuhkan bangunan konstitusional yang telah disepakati, sekaligus menjadikan Polri rentan terhadap intervensi politik.

Alih-alih memperbaiki kinerja, langkah itu justru akan menurunkan kapasitas Polri sebagai institusi negara yang harus berdiri tegak di atas semua kepentingan.

Oleh karena itu, gagasan reformasi ulang Polri jelas aneh. Jika yang diinginkan adalah pembenahan, maka istilah yang tepat bukan lagi reformasi, melainkan restorasi. Restorasi berarti mengembalikan marwah, memperkuat struktur yang sudah sah, dan menyempurnakan kinerja agar Polri semakin modern serta profesional.

Restorasi bukan membongkar pondasi, melainkan memperkokoh bangunan agar tahan terhadap guncangan. Setiap kali jargon reformasi digulirkan, apalagi disertai ide menempatkan Polri di bawah kementerian, yang sesungguhnya sedang didorong adalah pelemahan Polri dan pada akhirnya pelemahan negara.

Menerima wacana ini sama saja dengan menggiring bangsa mundur ke era lama, di mana Polri tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi instrumen birokrasi. Padahal, bangsa ini sudah melangkah jauh, menegakkan institusi kepolisian sebagai pilar keamanan yang bebas dari kepentingan politik jangka pendek.

Menjaga Polri tetap berdiri tepat di bawah Presiden, serta melakukan restorasi yang konsisten dari dalam, adalah jalan satu-satunya untuk mempertahankan wibawa negara. Reformasi Polri telah selesai, dan setiap upaya menempatkannya ke dalam struktur kementerian hanyalah bentuk ilusi yang melayang serta ancaman bagi stabilitas nasional.

Kini saatnya berdiri tegak: bukan reformasi, melainkan restorasi. Bukan pelemahan, melainkan penguatan. Dan bukan sekadar mempertahankan Polri, melainkan menjaga kehormatan bangsa.

Jakarta, 17 September 2025
R. Haidar Alwi
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *